Monday, September 06, 2010

Intoleransi dan Cuci Tangan Pemerintah

Oleh: Antonius Wiwan Koban, dipublikasikan di Harian Sinar Harapan, 4 September 2010

Konflik horizontal terkait intoleransi antarumat beragama di Indonesia ibarat letupan dalam bong­kahan bara api. Setidaknya, ada tiga hal yang memanas dalam konteks eskalasi kasus-kasus konflik antarumat beragama dalam menjalankan ibadah, terkait pihak agresor, defender, dan mediator.

Pertama, pihak agresor yang mengatasnamakan ke­lompok umat mayoritas se­makin merasa sah dan benar ketika menyerang kebebasan beribadah kelompok umat lain. Masyarakat dengan mudahnya mengklaim bahwa kelompok agama lainnya harus dilarang karena meresahkan masyarakat.

Kedua, pihak defender dari kelompok umat minoritas tidak lagi tinggal diam ketika menjadi korban kesewenangan intoleransi dan lebih aktif menuntut hak kebebasan beribadahnya. Mereka menjadi lebih aktif melakukan aksi-aksi menuntut jaminan hak-hak sipilnya dalam beribadah, yang dijamin konstitusi.

Ketiga, di pihak mediator, pemerintah semakin kebal dengan “dosa” pembiaran pelanggaran amanat konstitusi yang menjamin hak sipil memeluk agama dan beribadah. Pemerintah tidak pernah tegas menindak pelaku penyerangan rumah ibadah. Berbeda dengan pemerintah Malaysia yang pada Agustus 2010 diberitakan menjatuhkan sanksi pidana bagi pelaku pembakaran gereja.

Ketiga hal itu me­nun­jukkan semakin tajamnya pergesekan konflik horizontal antarkelompok masyarakat beragama di Indonesia dan semakin dipertanyakannya sikap pemerintah dalam menjamin kebebasan warga untuk beribadah.

Prinsip the ruling majority di tengah masyarakat beragama dipraktikkan secara mencolok. Pelarangan dan penyerangan kegiatan ibadah agama lain menjadi perilaku yang diterima oleh norma masyarakat setempat yang merasa “resah”. Masyarakat yang resah kemudian melakukan tindakan otoriter main hakim sendiri.

Simpati spontan terhadap advokasi kelompok minoritas yang ditindas kasus intoleransi di era menguatnya pembelaan hak-hak asasi manusia, segera menjadi hot issue. Dukungan terhadap kelompok defender tanpa melihat duduk perkara dan akar permasalahan dapat menggiring pada bias persepsi yang cenderung hanya melihat pihak defender sebagai pihak yang teraniaya dan tanpa andil bersalah.

Padahal, seperti diungkap dalam kajian Setara Institute (2010) tentang kasus-kasus pelanggaran kebebasan beribadah, akumulasi 28 kasus intoleransi selama Januari-Juli 2010 pun banyak berangkat dari persepsi subjektif keresahan antarumat beragama. Upaya-upaya advokasi tidak banyak yang tuntas menjelaskan apakah persepsi keresahan itu sekadar prasangka buruk (prejudice), ataukah memang terjadi fakta yang melanggar hukum normatif dan etika.

Pelarangan Ahmadiyah

Melalui Surat Peraturan Bersama (SPB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 dan 8 Tahun 2006, pemerintah selain mengatur ketentuan Pendirian Rumah Ibadah, juga membentuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Forum ini ada di setiap provinsi dan kabupaten, berfungsi mencegah konflik umat beragama, misalnya dengan mengawasi dan merekomendasikan pen­dirian rumah ibadah.

Selain itu, pemerintah pada tahun 2008 memberlakukan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Aga­ma, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung tentang Pela­rangan Jemaah Ahmadiyah, yaitu agar penganut Ahma­diyah menghentikan kegiatannya yang bertentangan dengan Islam.

Secara faktual, produk peraturan tersebut merupakan langkah cuci tangan pemerintah dalam urusan jaminan kebebasan beribadah. Menga­pa demikian? SPB Tiga Men­teri mensyaratkan pendirian rumah ibadah harus ada rekomendasi FKUB dan tanda tangan dukungan warga setempat minimal 60 orang. Masyarakat berhak menentukan boleh-tidaknya suatu rumah ibadah didirikan di tempat itu.

Hal itu dapat menimbulkan kekerasan struktural, di mana hak minoritas ditentukan kelompok mayoritas. Pengaturan demikian sungguh menjadi tanda bahwa pemerintah menyerahkan masalah praktik beragama pada sesama warga untuk menjadi “algojo” bagi warga yang berbeda keyakinan.

Pemerintah akhirnya cuci tangan ketika terjadi pelanggaran hak beribadah. Ketika masyarakat melarang, menyerang, dan merusak rumah ibadah, pemerintah tidak bertanggung jawab karena masyarakat setempat memang tidak mengizinkan keberadaan rumah ibadah yang diserang itu. Juga, ketika jemaah Ahmadiyah dikejar dan diserang, pemerintah berargumen bahwa masyarakat memang tidak menginginkan “penodaan” oleh kelompok lain di luar mainstream.

Padahal, kalau kita konsekuen bahwa memeluk agama dan berkeyakinan serta menjalankan ibadah adalah hak konstitusional warga negara, maka sesungguhnya pemerintah maupun pemerintah daerah yang membiarkan, bahkan merestui, kekerasan terhadap kebebasan beribadah telah melanggar konstitusi.

Politik Identitas

Pada praktiknya, kebebasan beribadah kemudian dipersempit menjadi “izin menjalankan ibadah,” “izin mendirikan rumah ibadah,” “izin melakukan kegiatan penyebaran agama (dakwah).” Argumen pelanggaran dan menimbulkan keresahan masyarakat menjadi subjektif dan rawan politisasi identitas dan kepentingan.

Untuk itu, pendidikan masyarakat menjadi hal penting. Intinya adalah kesadaran warga tentang hak asasi manusia, tentang etika menjalankan hak-hak asasi masing-masing sehingga tidak melanggar hak asasi orang lain pula, baik oleh kelompok mayoritas maupun minoritas; dan tidak mudah diprovokasi oleh prasangka. Praktik nilai-nilai keberagaman (pluralisme) dan kewaspadaan terhadap rekayasa politik identitas dan kepentingan perlu dikuatkan agar tindakan intoleransi tidak mudah terjadi

Antonius Wiwan Koban
Penulis adalah Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research.

Harian Sinar Harapan, 4 September 2010
http://www.sinarharapan.co.id/cetak/berita/read/intoleransi-dan-cuci-tangan-pemerintah/


Popular Posts