Tuesday, August 30, 2005

Masih Perlukah Hari Kartini?
Oleh: Antonius Wiwan Koban, Peneliti The Indonesian Institute, Jakarta

Media Indonesia, 21 April 2005
http://www.mediaindo.co.id/cetak/berita.asp?id=2005042101375242

SETIAP tahun ritual ini selalu berulang. Sebagian orang lalu sering kali entah serius entah tidak, mempertanyakan mengapa hanya ada Hari Kartini? Pertanyaan yang sama juga sering muncul pada peringatan Hari Perempuan (8 Maret), mengapa tidak ada Hari Laki-laki? Bahkan, apakah kita masih perlu Hari Kartini?

Pertanyaan yang menggelitik kemudian adalah mengapa muncul pertanyaan-pertanyaan seperti itu? Membahas pertanyaan-pertanyaan seperti di atas, sejatinya adalah bicara tentang rasa keadilan. Dengan bahasa relasi hubungan antara laki-laki dan perempuan, masalahnya adalah keadilan gender.

Dalam banyak hal lain, alih-alih kesamaan peran perempuan dan laki-laki, kita bisa mempertanyakan mengapa satu hal hanya dikenakan pada perempuan, mengapa tidak pada kedua jenis kelamin. Mengapa hanya ada Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, dan tidak ada Komnas Laki-Laki. Mengapa hanya ada Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, dan tidak ada Menteri Negara Pemberdayaan Laki-Laki.

Lowongan beasiswa atau pekerjaan (terutama dari institusi asing atau internasional) sering kali mencantumkan kata-kata yang setara artinya dengan, 'calon berjenis kelamin perempuan sangat didukung untuk melamar.' Bagi calon pelamar laki-laki yang meminati lowongan itu, tentu muncul kecemburuan, muncul rasa ketidakadilan karena merasa peluangnya dibedakan. Dalam banyak kasus, justru hal ini jarang sekali mendapatkan penjelasan yang memadai.

***
Bicara tentang keadilan gender, pengertian adil itu sendiri tidak harus berarti sama. Adil tidak berarti semua orang mendapatkan bagian yang sama. Keadilan gender tidak harus berarti bahwa bila pria mendapatkan sejumlah A, maka wanita juga harus mendapatkan sejumlah A, demikian sebaliknya.

Dunia manusia sejak dari zaman silam telah menempatkan perempuan sebagai subordinat pria. Budaya paternalistik begitu kuatnya sehingga pada banyak budaya di banyak bangsa, 'garis lurus yang normal' adalah kedudukan di mana pria lebih tinggi dari perempuan. Dengan kedudukan historis demikian, posisi perempuan dalam banyak hal berada di 'titik awal' yang tidak sejajar dengan pria. Keadilan gender memanggil kita untuk memberi perhatian khusus pada kaum yang dilemahkan, pada kelompok jenis kelamin yang berada di bawah 'titik awal'.

Pada praktiknya, keadilan gender pada masa dewasa ini tampak seperti berat sebelah kepada pihak perempuan. Perlakuan khusus pada kelompok perempuan akan tampak menjadi perlakuan yang membedakan. Pembedaan ini sesungguhnya adalah wajar karena dengan cara membedakan itulah kita dapat memberikan perlindungan kepada pihak yang dilemahkan. Perlakuan khusus dapat kita berikan kepada pihak yang lebih memerlukan.

Bila hingga dewasa ini perempuan menjadi pihak yang terlihat lebih banyak mendapat perlakuan khusus, seyogianya itu bertujuan untuk menjamin perlindungan terhadap posisi perempuan yang masih membutuhkan perlindungan atau dukungan. Bila paradigma super ordinasi laki-laki terhadap perempuan sudah hilang dari masyarakat, tentunya kedua pihak jenis kelamin segaris lurus, yang artinya kedua pihak pun mempunyai risiko yang sama untuk tidak terlindungi.

***
Perlakuan pembedaan terhadap peran jenis kelamin secara tidak wajar terjadi ketika pembedaan itu terarah pada perlakuan represif dan eksploitatif. Perlakuan represif terjadi ketika salah satu pihak dihambat potensinya sehingga tidak dapat berkembang.

Perilaku represif sering kali dilakukan secara disadari ataupun tidak disadari karena terdesak oleh masalah prioritas. Misalnya dalam keluarga dengan keterbatasan kemampuan ekonomi, sampai hari ini masih terjadi terutama di daerah-daerah, prioritas akses pendidikan sering kali diberikan pada anak laki-laki, dan mengorbankan kesempatan pendidikan bagi anak perempuan.

Dalam dunia rumah tangga dan karier, misalnya, pembedaan peran domestik untuk perempuan dan peran publik untuk pria, telah menghambat potensi perempuan untuk berkarier karena mengalah untuk mengurus rumah tangga. Tidak jarang, ketika suatu saat perempuan yang telah menikah lalu mengalami masalah perkawinan sehingga harus hidup tanpa suami, kesulitan menghidupi diri karena jalan kariernya dulu dihentikan demi keluarga.

Konsep-konsep terkait dengan Hari Kartini atau Hari Perempuan seperti emansipasi dan pengarustamaan gender adalah konstruk sosial. Konsep-konsep itu merupakan hasil konstruksi sosial oleh masyarakat sebagai reaksi atas nonegalitasnya relasi gender. Konsep-konsep itu adalah buatan manusia yang menjadi instrumen dalam mengatasi masalah hidup yaitu dalam hal ini masalah ketidakadilan gender.

Hingga sekarang ini, terkait kenyataan masih tersubordinasinya perempuan, maka tidak heran bila perangkat perlindungan kesetaraan gender masih banyak mengacu pada perempuan. Bahayanya adalah bila muncul bias-bias yang mereduksi masalah gender sedemikian sehingga masalah gender didefinisikan sebagai masalah perempuan saja.

Bias itu kemudian memantulkan kekeliruan persepsi yang menjurus pada feminisme-fobia sebagian besar masyarakat kita yang masih paternalistik yang dengan apatis melihat bahwa masalah keadilan gender adalah perlindungan terhadap perempuan saja. Padahal, keadilan gender itu tidak berjenis kelamin. Baik pria dan wanita, semuanya bisa mengalami ketidakadilan gender.

Komnas Perempuan yang setiap tahun melaporkan data-data kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia menunjukkan bahwa selama tahun 2004 yang lalu, angka kekerasan terhadap perempuan (KTP) ditemukan sebanyak 14.020 kasus. Angka ini mengalami kenaikan hampir sekitar 100 persen dari tahun sebelumnya, yaitu 7,787 di tahun 2003. Data kekerasan terhadap perempuan ini terus meningkat. Pada tahun 2001 ketika Komnas Perempuan pertama kali mencoba melakukan pendataan, tercatat sebanyak 3.160 kasus dan mengalami peningkatan pada tahun 2002 menjadi 5.163 kasus KTP. Data yang tercatat itu bisa jadi merupakan fenomena gunung es di mana hanya puncaknya yang tampak, sedangkan sangat mungkin masih besar sekali data yang tidak terungkap.

Dari 14.020 kasus kekerasan terhadap perempuan itu, hampir sepertiganya (4.310) adalah kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga. Melihat data ini, dapat dipahami mengapa Undang-undang Kekerasan dalam Rumah Tangga sering kali direduksi secara keliru dianggap hanya melindungi perempuan.

Besaran kekerasan terhadap perempuan seperti tampak pada data di atas memang masih menunjukkan kebutuhan keberpihakan keadilan gender pada pihak perempuan yang patut dilindungi. Keberpihakan ini adalah konsekuensi dari kesadaran perlindungan terhadap kaum yang secara struktural belum terlindungi, yaitu perempuan.

Lalu, apakah kita masih perlu memperingati Hari Kartini? Kita tampaknya memang masih perlu diingatkan kembali pada perjuangan kesetaraan perempuan dengan laki-laki. Hari Kartini sebagai hari yang mewakili peringatan terhadap tokoh-tokoh pemberdayaan perempuan tetap kita perlukan sebagai momentum untuk diingatkan pada pentingnya kesetaraan relasi perempuan dan laki-laki.***
Kekerasan Struktural oleh Negara di Bidang Pendidikan
Oleh: Antonius Wiwan Koban

Rencana penggolongan jalur pendidikan dalam formal mandiri dan formal standar dinilai diskriminatif. Bila dilaksanakan, maka kebijakan itu akan merupakan kekerasan struktural oleh negara kepada rakyat di bidang pendidikan. Ketika pemerintah menciptakan sistem yang menentukan pembedaan akses pendidikan berkualitas, negara gagal dalam tugas mencerdaskan bangsa. Lebih jauh lagi, negara melakukan kekerasan karena menghambat pemenuhan hak mendasar rakyat akan pendidikan sehingga potensi rakyat tidak optimal.

Dalam draft visi dan misi rencana strategis (Renstra) pendidikan nasional 2005-2009 diakui pelayanan pendidikan yang bermutu adalah hak seluruh warga negara namun belum didapatkan oleh semua warga. Jangankan mutu pendidikan, kesempatan pendidikan itu sendiripun, banyak rakyat tidak memperolehnya karena tidak sanggup membayar jasa pendidikan yang belum gratis di negara ini.

Keharusan membayar jasa pendidikan dilegalkan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20/2003 Pasal 46 ayat 1 yaitu pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama pemerintah dan masyarakat. Dengan alasan keterbatasan anggaran, dana negara sejumlah 20 persen APBN/APBD dialokasikan untuk pemerataan layanan pendidikan. Sedangkan peningkatan mutu pendidikan dananya bersumber dari masyarakat. Itu artinya pemerintah tidak menjamin akses pendidikan berkualitas bagi semua rakyat. Untuk pendidikan berkualitas, masyarakat harus membayar lagi. Siapa tidak mampu membayar, hilang kesempatan mendapat kualitas.

Definisi John Galtung

Berdasarkan salah satu definisi kekerasan menurut John Galtung, pakar kajian kekerasan dan perdamaian, kekerasan terjadi ketika manusia dipengaruhi sedemikian sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya. Kekerasan terjadi ketika manusia terhambat potensinya sehingga tidak dapat bertumbuh kembang optimal. Jadi kekerasan tidak hanya dalam pengertian sempit perlakuan fisik, namun juga mental, yang terlihat maupun tidak terlihat, yang berefek langsung maupun tidak langsung.

Kekerasan struktural terjadi akibat adanya struktur di masyarakat yang menekan dan menghambat masyarakat untuk tumbuh kembang secara optimal. Kekuasaan yang represif, pemerintahan yang tidak adil dan diskriminatif adalah pelaku yang dominan pada kekerasan struktural di masyarakat.

Salah satu bentuk kekerasan struktural adalah ketidakadilan sosial. Ini terjadi ketika ada ketidakadilan yang dialami oleh sekelompok orang dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan ideologi. Galtung mengatakan bahwa ketidakadilan sosial yang paling mendesak adalah kemiskinan. Orang yang tidak punya uang di negeri yang mengharuskan membayar untuk pendidikan, apalagi yang bermutu, jelas semakin terhambat dalam akses pendidikan.

Kekerasan struktural dalam bidang pendidikan terjadi ketika sistem yang ada mempengaruhi terhambatnya potensi sekelompok orang, kelas, atau golongan sehingga tidak dapat mengenyam pendidikan yang bermutu, yang kemudian membuat mereka menjadi termarjinalisasi.

Ketidakmampuan mengakses pendidikan karena faktor biaya, membuat rakyat miskin semakin berkubang dalam ketidakberdayaan. Akses ke pekerjaan yang lebih baik menjadi tertutup. Anak-anak muda di desa jatuh dalam ketidakberdayaan mencari pekerjaan yang lebih baik dari menjadi pembantu rumah tangga atau buruh-buruh kasar di kota-kota besar. Beberapa di antara mereka teraniaya fisik maupun psikis, dan terjebak dalam eksploitasi seksual komersil.

Pendidikan untuk Semua?

Pendidikan bila memang dianggap sebagai pintu transformasi Indonesia menuju peradaban modern, canggih, dan unggul seperti ditulis dalam visi dan misi Renstra pendidikan nasional, telah tertutup bagi orang miskin. Siapa yang menutup pintu itu? Pemerintah, dengan kebijakan pendidikan tidak gratis dan diskriminatif. Ketika pintu itu tertutup, potensi rakyat tumbuh kembang secara optimal terhambat, terjadilah kekerasan struktural oleh negara.

Rencana strategis pendidikan nasional 2005-2009 yang saat ini sedang diwacanakan di Departemen Pendidikan Nasional dengan salah satu kebijakannya yang disebut Spektrum Aspirasi warga negara tentang pendidikan, telah mengkotak-kotakkan peserta didik secara prematur determinatif.

Dengan istilah spektrum aspiratif, dibuat penggolongan warga negara: (1) mampu secara akademik dan finansial yang aspirasinya menginginkan pendidikan bermutu dan bersedia membayar walau mahal, (2) mampu secara akademik tapi tidak mampu secara finansial yang aspirasinya menginginkan pendidikan bermutu tetapi tidak mampu membayar,(3) tidak mampu secara akademik namun mampu finansial yang tidak menginginkan pendidikan tinggi, (4) tidak mampu secara akademik dan finansial yang tidak menginginkan pendidikan tinggi.

Dari empat kategori aspiratif itu, dibuat jalur pendidikan formal mandiri yang berbentuk sekolah umum atau kejuruan dengan peningkatan mutu pendidikan yang dananya adalah dari masyarakat serta jalur formal standar berbentuk sekolah kejuruan dengan dana dari alokasi APBN/APBD. Pada jalur formal standar, semua pendaftar sekolah dijamin diterima demi perluasan akses pendidikan, namun tidak dijamin peningkatan mutu pendidikan.

Rencana penggolongan jalur pendidikan hendaknya dibatalkan dan kembalikan lagi hak rakyat atas pendidikan tanpa kecuali dan tanpa syarat biaya. Pendidikan yang benar-benar gratis, tidak hanya sebatas pembebasan SPP, tapi juga penyediaan fasilitas belajar dan biaya tidak langsung lainnya (uang ujian, dsb) memberi kemudahan seluasnya pada rakyat. Tidak ada lagi hambatan memasuki pintu transformasi melalui pendidikan.

Bebas hambatan bukan hanya pada pemerataan pendidikan, tapi juga peningkatan kualitas. Setiap anak berhak bukan hanya untuk masuk sekolah tapi juga masuk sekolah bermutu.
Penulis adalah peneliti The Indonesian Institute


Popular Posts