Thursday, January 19, 2012

Antonius Wiwan Koban
.
lahir di Jakarta, 10 April 1974, menempuh pendidikan dasar dan menengah di Jakarta. Gelar Sarjana Psikologi diperoleh dari Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Jakarta (1995-2002) dengan peminatan pada psikologi sosial dan perilaku pembelajaran kognisi sosial (social cognitive learning behavior).

Saat ini Antonius Wiwan Koban adalah sebagai peneliti di bidang kebijakan sosial, gender dan pembangunan di The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research. Sebelumnya, Antonius Wiwan Koban bekerja sebagai tim pengajar mata kuliah metode penelitian di Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya (2003-2005), asisten peneliti dalam penelitian mengenai pekerja anak, kesetaraan gender dalam pendidikan, dan trafficking anak dan perempuan di Pusat Kajian dan Pengembangan Masyarakat Unika Atma Jaya, Jakarta (1999-2005).
.
Selain bidang research, Antonius Wiwan Koban juga berpengalaman dan memiliki kompetensi dalam manajemen program; sebagai project officer ketika di PKPM Atma Jaya, maupun di The Indonesian Institute, menangani kerja sama dengan lembaga-lembaga donor internasional; dan pada 2008-2009 sebagai Assistant for Grant Finance Specialist di Democratic Reform Support Program (DRSP)-Research Triangle Institute (RTI), funded by USAID.

Di bidang research, ketertarikan kajiannya terutama masalah kesetaraan gender, anak, pendidikan, kesehatan, humaniora dan multikulturalisme serta perilaku sosial kognitif. Beberapa tulisannya mengenai topik-topik tersebut dimuat di Media Indonesia, Sinar Harapan, The Jakarta Post dan Jurnal Nasional. Pada 2008-2009, juga beberapa kali menjadi narasumber topik sosial dalam acara talk show di televisi, yaitu Dialog Aktual TVRI, kerja sama antara TVRI dan The Indonesian Institute.

Monday, September 06, 2010

Intoleransi dan Cuci Tangan Pemerintah

Oleh: Antonius Wiwan Koban, dipublikasikan di Harian Sinar Harapan, 4 September 2010

Konflik horizontal terkait intoleransi antarumat beragama di Indonesia ibarat letupan dalam bong­kahan bara api. Setidaknya, ada tiga hal yang memanas dalam konteks eskalasi kasus-kasus konflik antarumat beragama dalam menjalankan ibadah, terkait pihak agresor, defender, dan mediator.

Pertama, pihak agresor yang mengatasnamakan ke­lompok umat mayoritas se­makin merasa sah dan benar ketika menyerang kebebasan beribadah kelompok umat lain. Masyarakat dengan mudahnya mengklaim bahwa kelompok agama lainnya harus dilarang karena meresahkan masyarakat.

Kedua, pihak defender dari kelompok umat minoritas tidak lagi tinggal diam ketika menjadi korban kesewenangan intoleransi dan lebih aktif menuntut hak kebebasan beribadahnya. Mereka menjadi lebih aktif melakukan aksi-aksi menuntut jaminan hak-hak sipilnya dalam beribadah, yang dijamin konstitusi.

Ketiga, di pihak mediator, pemerintah semakin kebal dengan “dosa” pembiaran pelanggaran amanat konstitusi yang menjamin hak sipil memeluk agama dan beribadah. Pemerintah tidak pernah tegas menindak pelaku penyerangan rumah ibadah. Berbeda dengan pemerintah Malaysia yang pada Agustus 2010 diberitakan menjatuhkan sanksi pidana bagi pelaku pembakaran gereja.

Ketiga hal itu me­nun­jukkan semakin tajamnya pergesekan konflik horizontal antarkelompok masyarakat beragama di Indonesia dan semakin dipertanyakannya sikap pemerintah dalam menjamin kebebasan warga untuk beribadah.

Prinsip the ruling majority di tengah masyarakat beragama dipraktikkan secara mencolok. Pelarangan dan penyerangan kegiatan ibadah agama lain menjadi perilaku yang diterima oleh norma masyarakat setempat yang merasa “resah”. Masyarakat yang resah kemudian melakukan tindakan otoriter main hakim sendiri.

Simpati spontan terhadap advokasi kelompok minoritas yang ditindas kasus intoleransi di era menguatnya pembelaan hak-hak asasi manusia, segera menjadi hot issue. Dukungan terhadap kelompok defender tanpa melihat duduk perkara dan akar permasalahan dapat menggiring pada bias persepsi yang cenderung hanya melihat pihak defender sebagai pihak yang teraniaya dan tanpa andil bersalah.

Padahal, seperti diungkap dalam kajian Setara Institute (2010) tentang kasus-kasus pelanggaran kebebasan beribadah, akumulasi 28 kasus intoleransi selama Januari-Juli 2010 pun banyak berangkat dari persepsi subjektif keresahan antarumat beragama. Upaya-upaya advokasi tidak banyak yang tuntas menjelaskan apakah persepsi keresahan itu sekadar prasangka buruk (prejudice), ataukah memang terjadi fakta yang melanggar hukum normatif dan etika.

Pelarangan Ahmadiyah

Melalui Surat Peraturan Bersama (SPB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 dan 8 Tahun 2006, pemerintah selain mengatur ketentuan Pendirian Rumah Ibadah, juga membentuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Forum ini ada di setiap provinsi dan kabupaten, berfungsi mencegah konflik umat beragama, misalnya dengan mengawasi dan merekomendasikan pen­dirian rumah ibadah.

Selain itu, pemerintah pada tahun 2008 memberlakukan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Aga­ma, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung tentang Pela­rangan Jemaah Ahmadiyah, yaitu agar penganut Ahma­diyah menghentikan kegiatannya yang bertentangan dengan Islam.

Secara faktual, produk peraturan tersebut merupakan langkah cuci tangan pemerintah dalam urusan jaminan kebebasan beribadah. Menga­pa demikian? SPB Tiga Men­teri mensyaratkan pendirian rumah ibadah harus ada rekomendasi FKUB dan tanda tangan dukungan warga setempat minimal 60 orang. Masyarakat berhak menentukan boleh-tidaknya suatu rumah ibadah didirikan di tempat itu.

Hal itu dapat menimbulkan kekerasan struktural, di mana hak minoritas ditentukan kelompok mayoritas. Pengaturan demikian sungguh menjadi tanda bahwa pemerintah menyerahkan masalah praktik beragama pada sesama warga untuk menjadi “algojo” bagi warga yang berbeda keyakinan.

Pemerintah akhirnya cuci tangan ketika terjadi pelanggaran hak beribadah. Ketika masyarakat melarang, menyerang, dan merusak rumah ibadah, pemerintah tidak bertanggung jawab karena masyarakat setempat memang tidak mengizinkan keberadaan rumah ibadah yang diserang itu. Juga, ketika jemaah Ahmadiyah dikejar dan diserang, pemerintah berargumen bahwa masyarakat memang tidak menginginkan “penodaan” oleh kelompok lain di luar mainstream.

Padahal, kalau kita konsekuen bahwa memeluk agama dan berkeyakinan serta menjalankan ibadah adalah hak konstitusional warga negara, maka sesungguhnya pemerintah maupun pemerintah daerah yang membiarkan, bahkan merestui, kekerasan terhadap kebebasan beribadah telah melanggar konstitusi.

Politik Identitas

Pada praktiknya, kebebasan beribadah kemudian dipersempit menjadi “izin menjalankan ibadah,” “izin mendirikan rumah ibadah,” “izin melakukan kegiatan penyebaran agama (dakwah).” Argumen pelanggaran dan menimbulkan keresahan masyarakat menjadi subjektif dan rawan politisasi identitas dan kepentingan.

Untuk itu, pendidikan masyarakat menjadi hal penting. Intinya adalah kesadaran warga tentang hak asasi manusia, tentang etika menjalankan hak-hak asasi masing-masing sehingga tidak melanggar hak asasi orang lain pula, baik oleh kelompok mayoritas maupun minoritas; dan tidak mudah diprovokasi oleh prasangka. Praktik nilai-nilai keberagaman (pluralisme) dan kewaspadaan terhadap rekayasa politik identitas dan kepentingan perlu dikuatkan agar tindakan intoleransi tidak mudah terjadi

Antonius Wiwan Koban
Penulis adalah Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research.

Harian Sinar Harapan, 4 September 2010
http://www.sinarharapan.co.id/cetak/berita/read/intoleransi-dan-cuci-tangan-pemerintah/


Saturday, September 06, 2008

Mengurangi Pengangguran Terdidik
Oleh: Antonius Wiwan Koban.
Dimuat di Harian Jurnal Nasional tanggal 6 September 2008

Masalah ketenagakerjaan di Indonesia kembali memunculkan satu problem yang signifikan, yaitu besarnya angka pengangguran terdidik. Yang dimaksud dengan pengangguran terdidik adalah mereka yang mempunyai kualifikasi lulusan pendidikan yang cukup namun masih belum memiliki pekerjaan. Pada tahun 2008 ini, sebanyak 4,5 juta dari 9,4 juta orang pengangguran berasal dari lulusan SMA, SMK, program Diploma, dan Universitas. Artinya, separuh dari total angka pengangguran adalah pengangguran terdidik. Mereka ini sebetulnya memiliki latar belakang pendidikan yang cukup, namun tidak terserap oleh pasar kerja.

Yang memprihatinkan pula, jumlah pengangguran terdidik meningkat dari tahun ke tahun. Proporsi penganggur terdidik dari total angka pengangguran pada tahun 1994 sebesar 17 persen, pada tahun 2004 menjadi 26 persen, dan kini tahun 2008 menjadi 50,3 persen.

Pendikan dan Lapangan Kerja

Penyebab utama terjadinya pengangguran terdidik adalah kurang selarasnya perencanaan pembangunan pendidikan dan perkembangan lapangan kerja, sehingga lulusan institusi pendidikan tidak terserap ke lapangan kerja.

Ada faktor-faktor lain pula yang menyebabkan besarnya angka pengangguran terdidik, antara lain preferensi atau pemilihan jenis pekerjaan yang diminati, dan kurang sesuainya kualifikasi angkatan kerja terdidik dengan kebutuhan penyedia lapangan pekerjaan.

Semakin besarnya angka pengangguran terdidik secara potensial dapat menyebabkan dampak yaitu: (1) timbulnya masalah sosial akibat pengangguran, (2) pemborosan sumber daya pendidikan, (3) menurunnya penghargaan dan kepercayaan masyarakat terhadap pendidikan.
Pengangguran terdidik harus dikurangi dari dua sisi,yaitu pendidikan dan ketenagakerjaan. Dari sisi pendidikan, sudah jelas bahwa dunia pendidikan harus dapat menghasilkan output lulusan yang siap diserap oleh pasar kerja. Artinya, pendidikan yang berkualitas yang berorientasi pada pasar kerja menjadi mutlak.

Yang dapat kita perbaiki adalah mewujudkan pendidikan yang berbasis pada pasar kerja (labour market based). Prosesnya selama ini adalah product oriented, yaitu dunia pendidikan lebih fokus pada upaya menghasilkan lulusan yang berkualitas. Namun kualitas dan karakteristik seperti apa yang dibutuhkan oleh pasar kerja? Oleh karena itu, labour market oriented, saat ini lebih tepat untuk menjawab kebutuhan pasar kerja akan tenaga kerja berkualitas, dan pada akhirnya mengurangi pengangguran terdidik.

Konsep link and match antara dunia pendidikan dan dunia ketenagakerjaan perlu diredefinisi dengan memasukkan pendekatan market labour based tadi. Jenis-jenis pendidikan kejuruan dan keterampilan kerja didasarkan pada analisis kebutuhan peluang-peluang kerja yang ada, dan yang diproyeksikan akan besar kebutuhannya.
Kewirausahaan

Mengurangi pengangguran pada umumnya, dan pengangguran terdidik pada khususnya, mengingatkan kita pada harapan akan tumbuhnya enterpreneurship atau kewirausahaan. Namun, seperti tercatat dalam Sensus Ketenagakerjaan Nasional 2007, hanya 5 persen dari jumlah angkatan kerja kita yang berminat pada kewirausahaan.

Selebihnya, mayoritas berlomba-lomba menjadi karyawan (bekerja pada pihak lain untuk mendapatkan upah atau gaji). Padahal ada harapan kewirausahaan sebagai langkah untuk pemberdayaan angkatan kerja menciptakan lapangan kerja bagi diri sendiri dan orang lain.

Kewirausahaan juga diragukan dapat menjadi solusi apabila tidak ada dukungan dari sistem ekonomi pasar yang lebih besar. Usaha-usaha mandiri apalagi yang kecil, bisa mati apabila tidak ada industri besar dan investor besar yang menopang. Sebetulnya, di sini peran dan tantangan Pemerintah signifikan, yaitu menciptakan iklim yang kondusif untuk menarik investor sehingga kewirausahaan dalam negeri dapat hidup.
Pendidikan Profesional

Sejalan dengan perubahan kebijakan pendidikan berdasarkan pasar kerja (labour market based) seperti dijelaskan di atas, pendidikan profesional dapat menjadi langkah yang tepat. Bidang-bidang usaha membutuhkan tenaga-tenaga profesional. Perbankan membutuhkan tenaga profesional perbankan yang handal, telekomunikasi membutuhkan tenaga profesional yang handal, begitu pula bidang lainnya.

Pelaku usaha tahu lebih tepat bagaimana karakter dan kualifikasi yang dibutuhkan. Pelaku usaha ini, apalagi korporat besar, dapat menyelenggarakan lembaga pendidikan profesional sesuai bidang dan kebutuhan masing-masing. Menyebut beberapa contoh, seperti Institut Bank Indonesia, Sekolah Tinggi Teknologi Telkom, adalah beberapa contohnya.

Bila korporat-korporat besar di berbagai bidang-bidang kerja dapat menyelenggarakan lebih banyak program pendidikan seperti itu, tentunya akan ada penyerapan angkatan belajar ke lembaga pendidikan dengan output berdasarkan kebutuhan pasar kerja. Pemerintah dapat mendukung dengan memberikan insentif-insentif yang relevan. Perusahaan dengan program Corporate Social Responsibility (CSR) dan para filantrofi lainnya dapat merespons pula dengan program bantuan dan beasiswa, yang pastinya juga dibutuhkan.

Dengan demikian, diharapkan pengangguran terdidik dapat dikurangi, dan yang ada adalah angkatan belajar yang terserap ke lembaga pendidikan profesional yang tahu persis kebutuhan dan ketersediaan lapangan kerja. Kepastian SDM profesional dapat menarik kepercayaan investor untuk menanamkan modal, yang artinya adalah membuka lapangan pekerjaan pula, sebagai salah satu mata rantai solusi pengurangan pengangguran.
Antonius Wiwan Koban, Peneliti Sosial The Indonesian Institute,Center for Public Policy Research


Monday, April 14, 2008

Gizi Buruk: Statistik atau Empirik?

Senin, 14 April 2008 00:00 Antonius Wiwan Koban. Dimuat di Harian Sinar Harapan, 14 April 2008


Masalah gizi buruk masih dialami oleh anak-anak di berbagai tempat di Indonesia dari tahun ke tahun. Ini menjadi potret buruk pemenuhan kebutuhan mendasar bagi masyarakat Indonesia. Gizi buruk menjadi perhatian masyarakat ketika media mengangkat kasus-kasus meninggalnya anak-anak di banyak daerah karena malnutrisi. Bagaimana pendekatan penanganannya oleh Pemerintah dan masyarakat?

Pengurangan jumlah penderita malnutrisi menjadi salah satu target Tujuan Perkembangan Milenium (Millenium Development Goals atau MDGs). Indonesia berkomitmen untuk mengurangi hingga setidaknya tinggal 18% penduduk yang mengalami malnutrisi pada tahun 2015, di mana angka tahun ini masih 28%, sementara pelaksanaan MDGs tahun ini sudah memasuki periode sepertiga terakhir.

Program perbaikan gizi masyarakat dalam beberapa tahun ini sudah masuk dalam program tugas wajib Pemerintah Daerah. Namun bagaimana pelaksanaannya di lapangan? Pada awal tahun 2008 ini, kasus gizi buruk kembali mengemuka. Dilaporkan antara lain di Trenggalek, Jawa Timur; Bekasi, Jawa Barat; Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur didapati adanya kasus malanutrisi hingga mencapai ratusan anak. Media massa merilis angka yang disebutkan sebagai jumlah temuan kasus gizi buruk pada anak dari tahun 2004 hingga 2007.

Pada tahun 2004 terdapat 5,1 juta anak mengalami gizi buruk, tahun 2005 terdapat 4,42 juta anak, tahun 2006 terdapat 4,2 juta anak, tahun 2007 sebanyak 4,1 juta anak. Departemen Kesehatan (Depkes) kemudian meluruskan pemberitaan itu. Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari pada keterangan pers 9 Maret 2008, mengatakan bahwa angka-angka yang disebutkan di atas keliru dalam identifikasi kasus gizi buruk. Katanya, tidak semua jumlah temuan itu adalah kategori gizi buruk.

Oleh Depkes, kasus-kasus malnutrisi dibedakan dalam beberapa golongan yaitu gizi buruk, gizi kurang, dan risiko gizi buruk. Pengertian gizi buruk sendiri adalah keadaan gizi kurang hingga tingkat yang berat yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dari makanan sehari-hari dan terjadi dalam waktu yang cukup lama.

Perbedaan Cara Pandang
Depkes meluruskan data dengan mengidentifikasi bahwa angka 5,1 juta anak pada tahun 2004 itu adalah total kasus gizi kurang dan gizi buruk. Jadi tidak semuanya gizi buruk. Pada tahun itu, dari angka 4,2 juta anak balita dimaksud, 3,3 juta anak mengalami gizi kurang, dan 944.000 mengalami risiko gizi buruk.

Pada 2007, dari 4,1 juta balita yang mengalami malnutrisi, sebanyak 3,38 juta mengalami gizi kurang, dan 755.000 dengan risiko gizi buruk. Depkes juga menekankan bahwa telah terjadi penurunan jumlah kasus malnutrisi pada anak Indonesia, dari 2004 hingga 2007, seperti ditunjukkan pada data di atas.

Namun, mengapa di awal 2008 ini, media massa masih memberitakan masalah malanutrisi pada anak Indonesia sebagai lampu merah? Tampaknya ada perbedaan pendekatan dalam melihat besaran masalah, antara pendekatan statistik dan empirik. Cara pandang kita terhadap suatu hal, bagaimanapun, menentukan langkah yang kita ambil dan efisiensi penanggulangannya.

Pemerintah cenderung melihat dengan pendekatan statistik. Dalam hal ini Pemerintah melihat dari sisi besaran total per tahun dan konteks kategori Kejadian Luar Biasa (KLB). KLB dihitung dari jumlah kasus per lokasi pada kurun waktu tertentu, dengan catatan apakah lebih besar dari kasus di tempat yang sama pada periode sebelumnya.

Masyarakat cenderung melihat dengan pendekatan empirik. Masyarakat melihat dari kacamata peristiwa harian di realitas kasus per kasus. Adanya satu kasus pun, bagi masyarakat itu sudah menjadi kasus. Apalagi ini menyangkut nyawa manusia, yang sebagian besar adalah anak-anak balita.

Dengan pendekatan statistik, Pemerintah cenderung melihat besaran masalah dengan pendekatan penggolongan keparahan kasus yaitu gizi buruk, gizi kurang, dan risiko gizi buruk menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, pendekatan ini bisa efektif dalam menentukan penanganan yang tepat, kasus per kasus, per daerah. Dengan berbasis pada data, tentu dapat ditentukan pemetaan masalahnya, dan intensitas penanganan yang diperlukan.

Namun di sisi lain, pendekatan statistik dapat meredusir masalah. Data-data statistik kasus malnutrisi adalah data yang dilaporkan. Seperti diketahui, data ini bersifat fenomena gunung es. Apa yang dilaporkan, belum tentu menampakkan data sebenarnya. Masih banyak kasus yang tidak diketahui, karena tidak dilaporkan. Apalagi mengingat era otonomi daerah, laporan adanya gizi buruk di daerah tentunya menjadi raport merah bagi daerah. Sementara di sisi lain, pendekatan empirik kelemahannya adalah akurasi datanya yang tidak menggambarkan pemetaan masalahnya.

Pendekatan empirik berbasis pada temuan-temuan sporadis. Namun pendekatan tersebut bersifat lebih fleksibel dan lebih memungkinkan penanganan secara tanggap darurat.

Penguatan Masyarakat

Sekali lagi, problematika penanganan gizi buruk dan malnutrisi anak secara umum, menghadapkan kita kembali pada pentingnya penguatan masyarakat. Untuk menjembatani kesenjangan antara pendekatan statistik dan empirik, di sini peran serta masyarakat menjadi penting.

Masyarakat sebagai ujung tombak keseharian idealnya lebih besar lagi peran sertanya dalam penemuan kasus-kasus dan penanganannya. Untuk itu, di tataran praktis, layanan Posyandu harus dihidupkan lagi hingga ke pelosok daerah. Posyandu di masa lampau telah menunjukkan kinerja yang efektif dalam penemuan dan penanganan masalah-masalah kesehatan anak dan ibu, hingga pelosok daerah.

Revitalisasi Posyandu, menjadi suatu langkah yang paling mungkin untuk dilakukan. Maka, kenyataan bahwa Posyandu selama ini dihidupkan oleh tenaga-tenaga sukarelawan, harus mendapat dukungan kelembagaan dari Pemerintah, untuk memotivasi tetap aktifnya layanan-layanan Posyandu di daerah-daerah.

Pemerintah Daerah apabila betul-betul berkomitmen dalam hal ini, dapat memberi penguatan pada sukarelawan, misalnya memperhatikan logistik, transportasi, dan kemudahan fasilitas infrastruktur, demi kelancaran tugas para sukarelawan Posyandu.

Yang penting untuk dikuatkan juga adalah peran serta filantrofi. Mobilisasi dukungan dana maupun sumber daya lainnya dari kegiatan filantrofi perlu dioptimalkan. Organisasi kemasyarakatan termasuk pula di lembaga-lembaga keagamaan merupakan sumber dukungan yang potensial.

Pemerintah Daerah dapat mengambil peran sebagai fasilitator dengan menyediakan pemetaan masalah dan infrastruktur. Dengan demikian, kendala kekakuan birokrasi dengan pendekatan statistiknya diharapkan dapat dicairkan oleh optimalisasi peran serta masyarakat, dengan pendekatan empiriknya.

Penulis adalah peneliti bidang Sosial The Indonesian Institute.
Sumber: Sinar Harapan, www.sinarharapan.co.id

Monday, October 03, 2005


Researchers
The Indonesian Institute

Thursday, September 29, 2005

Antonius Wiwan Koban, Jakarta
The Jakarta Post. January 2, 2006

"Serious security threats from terrorists to all Americans & Westerners in Indonesia. Avoid visiting western country embassies, western pedestrians...." Foreign residents and tourists in Indonesia, especially in Jakarta, are very familiar with that kind of warning message which is circulated officially by the embassies or unofficially from person to person via short message services (SMSs) or e-mails and mailing lists.

That sentence is a kind of current warning message targeted to foreigners living in Indonesia. But how about the Indonesian people themselves? Are they also aware about the same threats in the same areas? What is their perception about security threats in Indonesia? How do Indonesians perceive the probability of becoming the victims of terrorist attacks?

To mention the terrorists' bomb attack incidents, as we notice, the "top five" bomb attacks during the years 2000-2005 in Jakarta and Bali have killed hundreds of people and injured many more.

Terror bomb attacks could occur at any time and could be directed at any location. For most people, they never know when and where the incident might take place. It is a probability. Perception about the probability of something we do not want to happen but might happen is a risk perception.

Risk perception towards the terrorists' bomb attacks, as the other risk perception in general, can be seen as two components.

The first one is the perception about the probability of the severity of the incident. The second one is the perception about the probability of that risk that would really happen. It is about perceived vulnerability. Each of us has our own self-vulnerability risk perception.
A rough description about how Indonesian citizens perceive the probability of terrorist's bomb attacks is reflected in the security check procedures in public buildings such as office buildings, hotels and shopping centers in Jakarta.

Firstly, let us see risk perception in the physical sense. At a glance, most of those public buildings in Jakarta now have been equipped with security check portals. When they were built, and how they were built reflected the dynamics of the building's management risk perception. Earlier it was built as an early warning system to increase the awareness of the terrorist attacks.

Some portals have been changed from temporary to permanent. If budget constraints do not matter, in the case of a temporary security check portal, it can be suspected that terrorist attacks are perceived as temporary threats. Or maybe it was built just as formality on orders or instructions without any risk awareness consideration. Recently in Jakarta, we see that most buildings treat their security portals as temporary constructions.

Secondly, then let us see risk perception as reflected in the mental way. As a routine on a daily basis activity, security check procedures might be done slightly. It is a very usual scene that we see the security crews just slightly check visitor's stuff. The potential cognitive error is the procedures to screen any dangerous stuff, since so far they find nothing, might be taken as "looking for anything and guessing it is impossible to find". That way can lead them to underestimate risk perception.

As bomb attacks increase, levels of risk perception about probability of being attacked by terrorists' bombings should be increased too. But people often have optimistic biases about self-vulnerability. When judged about their own chances, people claim that they are less likely to be affected or to become victims than others.

Indonesians feel helpless and vulnerable because the uncertainty of the bombers' targets. Because of the bomb incidents in Indonesia look like there is no special target, which means the bombers did not care about whom their bombs victimized, so most people think there is no difference whether they think seriously about their probability to be under attack or do not think about it.

Indonesians sometimes also have become so accustomed to helplessness that it leads them to underestimate risk perception. The Indonesian lay people often think that all of the bomb attack threats are out of their personal control. Then they would agree that it is all about faith, "being under attack or to die is fate. If God wishes us to die, then we will die. Only God knows when, where and to whom it would happen".

Unfortunately, this belief sometimes turns out to be a justification that the risk is uncontrollable so any effort to prevent it would be useless. To avoid this, self-efficacy should be increased, for example, by having proper equipment and by having proper early warning in structural levels and also by undertaking appropriate emergency responses exercised on a personal level.

The same belief, fortunately, also can be a good entry point to educate the public on risk awareness. The critical point is if people believe that no one will know the time, place and the target of the bomb attack, they should always be aware of the uncertainty. That is the very meaning of life, it is a risk.

The writer is a Social Researcher at the Indonesian Institute in Jakarta. He can be reached at antonwk@cbn.net.id

Persepsi Risiko dan KLB Flu Burung

Oleh: Antonius Wiwan Koban,
Peneliti sosial The Indonesian Institute, Jakarta


Media Indonesia, Kamis, 22 September 2005
http://www.mediaindo.co.id/cetak/berita.asp?id=2005092209474344

''JIKA esok terjadi pandemik flu burung, kita tidak akan siap. Waktu terus berputar dan ketika pandemik menyerang, semuanya sudah terlambat,'' kata juru bicara WHO Christine McNab, seperti dikutip kantor berita AFP (19/9).

Sementara itu, pakar virus flu burung WHO Margaret Chan mengingatkan bahwa penularan dari manusia ke manusia diprediksi tinggal menunggu waktu. ''Pertanyaannya adalah kapan, dan bukan lagi apakah virus flu burung bisa menular antarmanusia. Kita harus berjaga-jaga setiap waktu, setiap hari.''

Pernyataan di atas menunjukkan kekhawatiran WHO bahwa kebanyakan negara tidak siap jika terjadi pandemik flu burung. Bagaimana dengan kita di Indonesia? Apakah kita telah menyikapi serta menindaklanjuti kekhawatiran wabah flu burung secara tepat? Apakah para pejabat publik kita telah menjalankan fungsi persepsi dan komunikasi risiko secara layak dan efektif?

Babak baru

Seperti diketahui, perkembangan flu burung di Indonesia sejak kini telah memasuki babak baru, yaitu dengan jatuhnya korban meninggal pada manusia. Hingga awal September 2005, dua orang telah dinyatakan meninggal akibat flu burung.

Menyusul kemudian, ditemukan virus flu burung menjangkiti unggas di kebun binatang dan pasar burung di Jakarta. Gubernur DKI Jakarta diberitakan kaget dengan temuan ini dan tidak terima ditetapkannya status KLB flu burung untuk Jakarta oleh Menteri Kesehatan. Serupa dengan itu, sebelumnya Bupati Tangerang dikabarkan naik pitam karena daerahnya dicap sebagai zona merah flu burung oleh Menteri Pertanian.

Namun, wabah terus berlanjut. Sejumlah anak dan orang dewasa di Jakarta dirawat di rumah sakit diduga terserang flu burung. Menteri Kesehatan lalu menyatakan status kejadian luar biasa (KLB) flu burung di seluruh wilayah Indonesia.

Terlepas dari delik otoritas, di sini kita melihat adanya masalah serius pada persepsi risiko para pejabat publik. Padahal, persepsi risiko terhadap wabah penyakit secara signifikan mendasari kerangka upaya penanganannya.

Persepsi risiko

Persepsi risiko adalah penilaian kemungkinan terjadinya bahaya atau kerugian atau hal yang tidak diinginkan. Dalam kasus flu burung, persepsi risiko penularan flu burung adalah penilaian kemungkinan terjadinya penularan flu burung.

Seperti persepsi pada umumnya, persepsi risiko dipengaruhi banyak faktor, antara lain pengetahuan, nilai dan kepentingan (value and interest), keyakinan (belief), serta motivasi yang personal. Oleh karena itu, persepsi risiko diyakini lebih bersifat subjektif, yaitu bergantung pada siapa yang menilainya.

Oleh karena itu, perlu diwaspadai bias-bias persepsi risiko wabah penyakit flu burung, terutama pada pejabat publik yang berwenang, di pusat maupun di daerah. Pertama, kurang memadainya pengetahuan akan flu burung dapat menghasilkan penilaian risiko yang tidak akurat, yaitu menilai risiko terlalu kecil maupun menilai risiko terlalu besar. Kurangnya pengetahuan dapat disebabkan oleh keterbatasan informasi ataupun keahlian.

Kedua, nilai dan kepentingan yang diemban para pemangku kepentingan (stakeholder) dapat menghasilkan penilaian risiko yang berpihak pada kepentingan tertentu. Misalnya, pada perbedaan persepsi antara Menteri Kesehatan dan Gubernur DKI Jakarta mengenai status KLB flu burung di Jakarta.

Menteri Kesehatan tentu memandang kesehatan masyarakat di atas segalanya sehingga dua korban jiwa sudah berarti terlalu banyak; sementara Gubernur DKI di sisi lain mempunyai kepentingan menjaga ketenangan dan keamanan Jakarta (termasuk aman dari ancaman virus penyakit) juga melindungi sektor ekonomi peternakan dan pariwisata, dan tentu tidak ingin cepat-cepat daerah wewenangnya mendapat rapor merah, sehingga dua korban jiwa masih berarti sedikit.

Transparansi

Transparansi pejabat publik dalam mengomunikasikan persepsi risiko wabah flu burung sebagai wabah yang baru muncul, namun menimbulkan kerugian ekonomi dan keselamatan masyarakat, merupakan hal yang sulit dilakukan dan cenderung dilematis. Akan ada banyak hambatan yang problematis, yaitu antara lain kekhawatiran kerugian ekonomi, kekhawatiran terkesan tidak kompeten, kekhawatiran di kemudian hari nanti terbukti salah langkah.

Namun, mengomunikasikan kepada publik mengenai risiko flu burung secara transparan secara dini hasilnya akan lebih bermanfaat. Harga yang harus dibayar nantinya akan jauh lebih tinggi bila komunikasi risiko tidak transparan, atau menutup-nutupi masalah, atau memersepsikan problemnya masih sangat kecil. Kekeliruan karena sikap menunda dan tidak transparan akan mengurangi kredibilitas pejabat publik, yang dampaknya akan membuat upaya-upaya promosi kesehatan, pencegahan wabah penyakit, yang membutuhkan partisipasi masyarakat, hasilnya tidak akan optimal.

Hal yang juga perlu diperhatikan dalam komunikasi risiko adalah mengakui ketidakpastian. Pejabat publik kita sering kali lupa bahwa risiko adalah suatu ketidakpastian. Risiko sendiri berarti kemungkinan terjadinya bahaya, kerugian, atau sesuatu yang tidak diharapkan. Namun, sering terjadi bahwa kepala daerah atau pejabat instansi terkait mengatakan wilayahnya pasti tidak terjangkit wabah flu burung atau penularan dari manusia ke manusia tidak akan mungkin terjadi. Padahal, perkembangan virus flu burung termasuk hal yang baru dan masih banyak hal yang para ahli belum ketahui. Jadi, banyak kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi.

Membaca KLB

Langkah Menteri Kesehatan menetapkan status KLB nasional sebagai strategi meningkatkan kewaspadaan dan kelancaran penanganan flu burung patut dihargai. Keberatan dan keluhan Gubernur DKI Jakarta juga patut dihargai karena membuka kesadaran akan pentingnya sosialisasi dan komunikasi risiko secara layak.

Dalam hal ini perbedaan interpretasi yang terjadi adalah para kepala daerah lebih menganggap status KLB sebagai statistik atau sebagai laporan pascakejadian, bahkan sebagai 'rapor'. Kerugiannya adalah, status KLB tereduksi sebagai angka, dan mengundang menutupi masalah secara manipulatif.

Apalagi bila mengingat bahwa angka laporan kesehatan dalam banyak hal adalah fenomena gunung es, KLB sebagai statistik sering kali menjadi kurang berguna. Interpretasi Menteri Kesehatan, yang lebih menganggap status KLB sebagai instrumen untuk mengatur langkah ke depan, akan lebih bermanfaat.

Langkah-langkah strategis dan koordinasi akan lebih baik bila dilengkapi komunikasi risiko yang layak dan kredibel, yaitu dengan pendekatan prediksi yang bertanggung jawab (tidak melulu defensif secara dini mengatakan bahwa bahayanya masih kecil dan tertangani, atau bahkan menolak bahwa ada masalah).

Komunikasi risiko juga patut menyampaikan secara fair dilema-dilema yang dihadapi dalam menentukan langkah-langkah yang harus diambil, serta mencari tahu lalu menginformasikan hal praktis yang dapat dilakukan masyarakat. Di sinilah kapasitas dan profesionalitas pejabat publik, para ahli, praktisi, dan petugas terkait tidak boleh main-main, apalagi dibelit kepentingan-kepentingan sesaat.

Cegah gunung es

Seiring era otonomi daerah, bias persepsi risiko dan interpretasi kejadian luar biasa (KLB) harus lebih diwaspadai. Gejala bahwa kepala daerah ingin melaporkan situasi yang terbaik mengenai daerahnya adalah hal yang mungkin terjadi. Bila tidak diwaspadai, dapat terjadi laporan yang tidak sesuai dengan kenyataan. Kita belum lupa bahwa KLB gizi buruk di berbagai daerah di Tanah Air telah membuktikan adanya gejala tersebut.

Yang akan menjadi masalah besar adalah bila terjadi kesenjangan besar antara risiko yang dipersepsi (perceived risk) dan bahaya yang sesungguhnya (actual hazard). Kekeliruan dapat diawali dengan sikap pejabat publik dengan begitu cepatnya menyimpulkan wilayahnya aman-aman saja karena upaya-upaya pencegahan telah dilakukan, atau karena tidak ada laporan kejadian. Padahal kebocoran mungkin terjadi dan tidak ada laporan belum tentu berarti tidak ada kejadian.

Peluang dan tantangan kita dalam menghadapi wabah flu burung ini adalah perihal masih relatif barunya perkembangan wabah penyakit ini. Selagi jumlah penderita pada manusia belum semakin banyak, peluang kita adalah mencegah terjadinya fenomena gunung es, yang biasa terjadi pada wabah penyakit di negara kita yaitu jumlah penderita yang terlihat dari data yang ada, tidak menunjukkan jumlah yang sebenarnya, karena banyak kejadian yang tidak terpantau. Di sini peran akses layanan kesehatan bagi masyarakat, yang menjadi pintunya, yaitu membuka kemudahan bagi penderita, terlebih lagi bagi mereka yang miskin, untuk segera mendapat perawatan dan pengobatan.***

Tuesday, August 30, 2005

Masih Perlukah Hari Kartini?
Oleh: Antonius Wiwan Koban, Peneliti The Indonesian Institute, Jakarta

Media Indonesia, 21 April 2005
http://www.mediaindo.co.id/cetak/berita.asp?id=2005042101375242

SETIAP tahun ritual ini selalu berulang. Sebagian orang lalu sering kali entah serius entah tidak, mempertanyakan mengapa hanya ada Hari Kartini? Pertanyaan yang sama juga sering muncul pada peringatan Hari Perempuan (8 Maret), mengapa tidak ada Hari Laki-laki? Bahkan, apakah kita masih perlu Hari Kartini?

Pertanyaan yang menggelitik kemudian adalah mengapa muncul pertanyaan-pertanyaan seperti itu? Membahas pertanyaan-pertanyaan seperti di atas, sejatinya adalah bicara tentang rasa keadilan. Dengan bahasa relasi hubungan antara laki-laki dan perempuan, masalahnya adalah keadilan gender.

Dalam banyak hal lain, alih-alih kesamaan peran perempuan dan laki-laki, kita bisa mempertanyakan mengapa satu hal hanya dikenakan pada perempuan, mengapa tidak pada kedua jenis kelamin. Mengapa hanya ada Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, dan tidak ada Komnas Laki-Laki. Mengapa hanya ada Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, dan tidak ada Menteri Negara Pemberdayaan Laki-Laki.

Lowongan beasiswa atau pekerjaan (terutama dari institusi asing atau internasional) sering kali mencantumkan kata-kata yang setara artinya dengan, 'calon berjenis kelamin perempuan sangat didukung untuk melamar.' Bagi calon pelamar laki-laki yang meminati lowongan itu, tentu muncul kecemburuan, muncul rasa ketidakadilan karena merasa peluangnya dibedakan. Dalam banyak kasus, justru hal ini jarang sekali mendapatkan penjelasan yang memadai.

***
Bicara tentang keadilan gender, pengertian adil itu sendiri tidak harus berarti sama. Adil tidak berarti semua orang mendapatkan bagian yang sama. Keadilan gender tidak harus berarti bahwa bila pria mendapatkan sejumlah A, maka wanita juga harus mendapatkan sejumlah A, demikian sebaliknya.

Dunia manusia sejak dari zaman silam telah menempatkan perempuan sebagai subordinat pria. Budaya paternalistik begitu kuatnya sehingga pada banyak budaya di banyak bangsa, 'garis lurus yang normal' adalah kedudukan di mana pria lebih tinggi dari perempuan. Dengan kedudukan historis demikian, posisi perempuan dalam banyak hal berada di 'titik awal' yang tidak sejajar dengan pria. Keadilan gender memanggil kita untuk memberi perhatian khusus pada kaum yang dilemahkan, pada kelompok jenis kelamin yang berada di bawah 'titik awal'.

Pada praktiknya, keadilan gender pada masa dewasa ini tampak seperti berat sebelah kepada pihak perempuan. Perlakuan khusus pada kelompok perempuan akan tampak menjadi perlakuan yang membedakan. Pembedaan ini sesungguhnya adalah wajar karena dengan cara membedakan itulah kita dapat memberikan perlindungan kepada pihak yang dilemahkan. Perlakuan khusus dapat kita berikan kepada pihak yang lebih memerlukan.

Bila hingga dewasa ini perempuan menjadi pihak yang terlihat lebih banyak mendapat perlakuan khusus, seyogianya itu bertujuan untuk menjamin perlindungan terhadap posisi perempuan yang masih membutuhkan perlindungan atau dukungan. Bila paradigma super ordinasi laki-laki terhadap perempuan sudah hilang dari masyarakat, tentunya kedua pihak jenis kelamin segaris lurus, yang artinya kedua pihak pun mempunyai risiko yang sama untuk tidak terlindungi.

***
Perlakuan pembedaan terhadap peran jenis kelamin secara tidak wajar terjadi ketika pembedaan itu terarah pada perlakuan represif dan eksploitatif. Perlakuan represif terjadi ketika salah satu pihak dihambat potensinya sehingga tidak dapat berkembang.

Perilaku represif sering kali dilakukan secara disadari ataupun tidak disadari karena terdesak oleh masalah prioritas. Misalnya dalam keluarga dengan keterbatasan kemampuan ekonomi, sampai hari ini masih terjadi terutama di daerah-daerah, prioritas akses pendidikan sering kali diberikan pada anak laki-laki, dan mengorbankan kesempatan pendidikan bagi anak perempuan.

Dalam dunia rumah tangga dan karier, misalnya, pembedaan peran domestik untuk perempuan dan peran publik untuk pria, telah menghambat potensi perempuan untuk berkarier karena mengalah untuk mengurus rumah tangga. Tidak jarang, ketika suatu saat perempuan yang telah menikah lalu mengalami masalah perkawinan sehingga harus hidup tanpa suami, kesulitan menghidupi diri karena jalan kariernya dulu dihentikan demi keluarga.

Konsep-konsep terkait dengan Hari Kartini atau Hari Perempuan seperti emansipasi dan pengarustamaan gender adalah konstruk sosial. Konsep-konsep itu merupakan hasil konstruksi sosial oleh masyarakat sebagai reaksi atas nonegalitasnya relasi gender. Konsep-konsep itu adalah buatan manusia yang menjadi instrumen dalam mengatasi masalah hidup yaitu dalam hal ini masalah ketidakadilan gender.

Hingga sekarang ini, terkait kenyataan masih tersubordinasinya perempuan, maka tidak heran bila perangkat perlindungan kesetaraan gender masih banyak mengacu pada perempuan. Bahayanya adalah bila muncul bias-bias yang mereduksi masalah gender sedemikian sehingga masalah gender didefinisikan sebagai masalah perempuan saja.

Bias itu kemudian memantulkan kekeliruan persepsi yang menjurus pada feminisme-fobia sebagian besar masyarakat kita yang masih paternalistik yang dengan apatis melihat bahwa masalah keadilan gender adalah perlindungan terhadap perempuan saja. Padahal, keadilan gender itu tidak berjenis kelamin. Baik pria dan wanita, semuanya bisa mengalami ketidakadilan gender.

Komnas Perempuan yang setiap tahun melaporkan data-data kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia menunjukkan bahwa selama tahun 2004 yang lalu, angka kekerasan terhadap perempuan (KTP) ditemukan sebanyak 14.020 kasus. Angka ini mengalami kenaikan hampir sekitar 100 persen dari tahun sebelumnya, yaitu 7,787 di tahun 2003. Data kekerasan terhadap perempuan ini terus meningkat. Pada tahun 2001 ketika Komnas Perempuan pertama kali mencoba melakukan pendataan, tercatat sebanyak 3.160 kasus dan mengalami peningkatan pada tahun 2002 menjadi 5.163 kasus KTP. Data yang tercatat itu bisa jadi merupakan fenomena gunung es di mana hanya puncaknya yang tampak, sedangkan sangat mungkin masih besar sekali data yang tidak terungkap.

Dari 14.020 kasus kekerasan terhadap perempuan itu, hampir sepertiganya (4.310) adalah kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga. Melihat data ini, dapat dipahami mengapa Undang-undang Kekerasan dalam Rumah Tangga sering kali direduksi secara keliru dianggap hanya melindungi perempuan.

Besaran kekerasan terhadap perempuan seperti tampak pada data di atas memang masih menunjukkan kebutuhan keberpihakan keadilan gender pada pihak perempuan yang patut dilindungi. Keberpihakan ini adalah konsekuensi dari kesadaran perlindungan terhadap kaum yang secara struktural belum terlindungi, yaitu perempuan.

Lalu, apakah kita masih perlu memperingati Hari Kartini? Kita tampaknya memang masih perlu diingatkan kembali pada perjuangan kesetaraan perempuan dengan laki-laki. Hari Kartini sebagai hari yang mewakili peringatan terhadap tokoh-tokoh pemberdayaan perempuan tetap kita perlukan sebagai momentum untuk diingatkan pada pentingnya kesetaraan relasi perempuan dan laki-laki.***
Kekerasan Struktural oleh Negara di Bidang Pendidikan
Oleh: Antonius Wiwan Koban

Rencana penggolongan jalur pendidikan dalam formal mandiri dan formal standar dinilai diskriminatif. Bila dilaksanakan, maka kebijakan itu akan merupakan kekerasan struktural oleh negara kepada rakyat di bidang pendidikan. Ketika pemerintah menciptakan sistem yang menentukan pembedaan akses pendidikan berkualitas, negara gagal dalam tugas mencerdaskan bangsa. Lebih jauh lagi, negara melakukan kekerasan karena menghambat pemenuhan hak mendasar rakyat akan pendidikan sehingga potensi rakyat tidak optimal.

Dalam draft visi dan misi rencana strategis (Renstra) pendidikan nasional 2005-2009 diakui pelayanan pendidikan yang bermutu adalah hak seluruh warga negara namun belum didapatkan oleh semua warga. Jangankan mutu pendidikan, kesempatan pendidikan itu sendiripun, banyak rakyat tidak memperolehnya karena tidak sanggup membayar jasa pendidikan yang belum gratis di negara ini.

Keharusan membayar jasa pendidikan dilegalkan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20/2003 Pasal 46 ayat 1 yaitu pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama pemerintah dan masyarakat. Dengan alasan keterbatasan anggaran, dana negara sejumlah 20 persen APBN/APBD dialokasikan untuk pemerataan layanan pendidikan. Sedangkan peningkatan mutu pendidikan dananya bersumber dari masyarakat. Itu artinya pemerintah tidak menjamin akses pendidikan berkualitas bagi semua rakyat. Untuk pendidikan berkualitas, masyarakat harus membayar lagi. Siapa tidak mampu membayar, hilang kesempatan mendapat kualitas.

Definisi John Galtung

Berdasarkan salah satu definisi kekerasan menurut John Galtung, pakar kajian kekerasan dan perdamaian, kekerasan terjadi ketika manusia dipengaruhi sedemikian sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya. Kekerasan terjadi ketika manusia terhambat potensinya sehingga tidak dapat bertumbuh kembang optimal. Jadi kekerasan tidak hanya dalam pengertian sempit perlakuan fisik, namun juga mental, yang terlihat maupun tidak terlihat, yang berefek langsung maupun tidak langsung.

Kekerasan struktural terjadi akibat adanya struktur di masyarakat yang menekan dan menghambat masyarakat untuk tumbuh kembang secara optimal. Kekuasaan yang represif, pemerintahan yang tidak adil dan diskriminatif adalah pelaku yang dominan pada kekerasan struktural di masyarakat.

Salah satu bentuk kekerasan struktural adalah ketidakadilan sosial. Ini terjadi ketika ada ketidakadilan yang dialami oleh sekelompok orang dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan ideologi. Galtung mengatakan bahwa ketidakadilan sosial yang paling mendesak adalah kemiskinan. Orang yang tidak punya uang di negeri yang mengharuskan membayar untuk pendidikan, apalagi yang bermutu, jelas semakin terhambat dalam akses pendidikan.

Kekerasan struktural dalam bidang pendidikan terjadi ketika sistem yang ada mempengaruhi terhambatnya potensi sekelompok orang, kelas, atau golongan sehingga tidak dapat mengenyam pendidikan yang bermutu, yang kemudian membuat mereka menjadi termarjinalisasi.

Ketidakmampuan mengakses pendidikan karena faktor biaya, membuat rakyat miskin semakin berkubang dalam ketidakberdayaan. Akses ke pekerjaan yang lebih baik menjadi tertutup. Anak-anak muda di desa jatuh dalam ketidakberdayaan mencari pekerjaan yang lebih baik dari menjadi pembantu rumah tangga atau buruh-buruh kasar di kota-kota besar. Beberapa di antara mereka teraniaya fisik maupun psikis, dan terjebak dalam eksploitasi seksual komersil.

Pendidikan untuk Semua?

Pendidikan bila memang dianggap sebagai pintu transformasi Indonesia menuju peradaban modern, canggih, dan unggul seperti ditulis dalam visi dan misi Renstra pendidikan nasional, telah tertutup bagi orang miskin. Siapa yang menutup pintu itu? Pemerintah, dengan kebijakan pendidikan tidak gratis dan diskriminatif. Ketika pintu itu tertutup, potensi rakyat tumbuh kembang secara optimal terhambat, terjadilah kekerasan struktural oleh negara.

Rencana strategis pendidikan nasional 2005-2009 yang saat ini sedang diwacanakan di Departemen Pendidikan Nasional dengan salah satu kebijakannya yang disebut Spektrum Aspirasi warga negara tentang pendidikan, telah mengkotak-kotakkan peserta didik secara prematur determinatif.

Dengan istilah spektrum aspiratif, dibuat penggolongan warga negara: (1) mampu secara akademik dan finansial yang aspirasinya menginginkan pendidikan bermutu dan bersedia membayar walau mahal, (2) mampu secara akademik tapi tidak mampu secara finansial yang aspirasinya menginginkan pendidikan bermutu tetapi tidak mampu membayar,(3) tidak mampu secara akademik namun mampu finansial yang tidak menginginkan pendidikan tinggi, (4) tidak mampu secara akademik dan finansial yang tidak menginginkan pendidikan tinggi.

Dari empat kategori aspiratif itu, dibuat jalur pendidikan formal mandiri yang berbentuk sekolah umum atau kejuruan dengan peningkatan mutu pendidikan yang dananya adalah dari masyarakat serta jalur formal standar berbentuk sekolah kejuruan dengan dana dari alokasi APBN/APBD. Pada jalur formal standar, semua pendaftar sekolah dijamin diterima demi perluasan akses pendidikan, namun tidak dijamin peningkatan mutu pendidikan.

Rencana penggolongan jalur pendidikan hendaknya dibatalkan dan kembalikan lagi hak rakyat atas pendidikan tanpa kecuali dan tanpa syarat biaya. Pendidikan yang benar-benar gratis, tidak hanya sebatas pembebasan SPP, tapi juga penyediaan fasilitas belajar dan biaya tidak langsung lainnya (uang ujian, dsb) memberi kemudahan seluasnya pada rakyat. Tidak ada lagi hambatan memasuki pintu transformasi melalui pendidikan.

Bebas hambatan bukan hanya pada pemerataan pendidikan, tapi juga peningkatan kualitas. Setiap anak berhak bukan hanya untuk masuk sekolah tapi juga masuk sekolah bermutu.
Penulis adalah peneliti The Indonesian Institute


Popular Posts