Tuesday, August 30, 2005

Kekerasan Struktural oleh Negara di Bidang Pendidikan
Oleh: Antonius Wiwan Koban

Rencana penggolongan jalur pendidikan dalam formal mandiri dan formal standar dinilai diskriminatif. Bila dilaksanakan, maka kebijakan itu akan merupakan kekerasan struktural oleh negara kepada rakyat di bidang pendidikan. Ketika pemerintah menciptakan sistem yang menentukan pembedaan akses pendidikan berkualitas, negara gagal dalam tugas mencerdaskan bangsa. Lebih jauh lagi, negara melakukan kekerasan karena menghambat pemenuhan hak mendasar rakyat akan pendidikan sehingga potensi rakyat tidak optimal.

Dalam draft visi dan misi rencana strategis (Renstra) pendidikan nasional 2005-2009 diakui pelayanan pendidikan yang bermutu adalah hak seluruh warga negara namun belum didapatkan oleh semua warga. Jangankan mutu pendidikan, kesempatan pendidikan itu sendiripun, banyak rakyat tidak memperolehnya karena tidak sanggup membayar jasa pendidikan yang belum gratis di negara ini.

Keharusan membayar jasa pendidikan dilegalkan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20/2003 Pasal 46 ayat 1 yaitu pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama pemerintah dan masyarakat. Dengan alasan keterbatasan anggaran, dana negara sejumlah 20 persen APBN/APBD dialokasikan untuk pemerataan layanan pendidikan. Sedangkan peningkatan mutu pendidikan dananya bersumber dari masyarakat. Itu artinya pemerintah tidak menjamin akses pendidikan berkualitas bagi semua rakyat. Untuk pendidikan berkualitas, masyarakat harus membayar lagi. Siapa tidak mampu membayar, hilang kesempatan mendapat kualitas.

Definisi John Galtung

Berdasarkan salah satu definisi kekerasan menurut John Galtung, pakar kajian kekerasan dan perdamaian, kekerasan terjadi ketika manusia dipengaruhi sedemikian sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya. Kekerasan terjadi ketika manusia terhambat potensinya sehingga tidak dapat bertumbuh kembang optimal. Jadi kekerasan tidak hanya dalam pengertian sempit perlakuan fisik, namun juga mental, yang terlihat maupun tidak terlihat, yang berefek langsung maupun tidak langsung.

Kekerasan struktural terjadi akibat adanya struktur di masyarakat yang menekan dan menghambat masyarakat untuk tumbuh kembang secara optimal. Kekuasaan yang represif, pemerintahan yang tidak adil dan diskriminatif adalah pelaku yang dominan pada kekerasan struktural di masyarakat.

Salah satu bentuk kekerasan struktural adalah ketidakadilan sosial. Ini terjadi ketika ada ketidakadilan yang dialami oleh sekelompok orang dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan ideologi. Galtung mengatakan bahwa ketidakadilan sosial yang paling mendesak adalah kemiskinan. Orang yang tidak punya uang di negeri yang mengharuskan membayar untuk pendidikan, apalagi yang bermutu, jelas semakin terhambat dalam akses pendidikan.

Kekerasan struktural dalam bidang pendidikan terjadi ketika sistem yang ada mempengaruhi terhambatnya potensi sekelompok orang, kelas, atau golongan sehingga tidak dapat mengenyam pendidikan yang bermutu, yang kemudian membuat mereka menjadi termarjinalisasi.

Ketidakmampuan mengakses pendidikan karena faktor biaya, membuat rakyat miskin semakin berkubang dalam ketidakberdayaan. Akses ke pekerjaan yang lebih baik menjadi tertutup. Anak-anak muda di desa jatuh dalam ketidakberdayaan mencari pekerjaan yang lebih baik dari menjadi pembantu rumah tangga atau buruh-buruh kasar di kota-kota besar. Beberapa di antara mereka teraniaya fisik maupun psikis, dan terjebak dalam eksploitasi seksual komersil.

Pendidikan untuk Semua?

Pendidikan bila memang dianggap sebagai pintu transformasi Indonesia menuju peradaban modern, canggih, dan unggul seperti ditulis dalam visi dan misi Renstra pendidikan nasional, telah tertutup bagi orang miskin. Siapa yang menutup pintu itu? Pemerintah, dengan kebijakan pendidikan tidak gratis dan diskriminatif. Ketika pintu itu tertutup, potensi rakyat tumbuh kembang secara optimal terhambat, terjadilah kekerasan struktural oleh negara.

Rencana strategis pendidikan nasional 2005-2009 yang saat ini sedang diwacanakan di Departemen Pendidikan Nasional dengan salah satu kebijakannya yang disebut Spektrum Aspirasi warga negara tentang pendidikan, telah mengkotak-kotakkan peserta didik secara prematur determinatif.

Dengan istilah spektrum aspiratif, dibuat penggolongan warga negara: (1) mampu secara akademik dan finansial yang aspirasinya menginginkan pendidikan bermutu dan bersedia membayar walau mahal, (2) mampu secara akademik tapi tidak mampu secara finansial yang aspirasinya menginginkan pendidikan bermutu tetapi tidak mampu membayar,(3) tidak mampu secara akademik namun mampu finansial yang tidak menginginkan pendidikan tinggi, (4) tidak mampu secara akademik dan finansial yang tidak menginginkan pendidikan tinggi.

Dari empat kategori aspiratif itu, dibuat jalur pendidikan formal mandiri yang berbentuk sekolah umum atau kejuruan dengan peningkatan mutu pendidikan yang dananya adalah dari masyarakat serta jalur formal standar berbentuk sekolah kejuruan dengan dana dari alokasi APBN/APBD. Pada jalur formal standar, semua pendaftar sekolah dijamin diterima demi perluasan akses pendidikan, namun tidak dijamin peningkatan mutu pendidikan.

Rencana penggolongan jalur pendidikan hendaknya dibatalkan dan kembalikan lagi hak rakyat atas pendidikan tanpa kecuali dan tanpa syarat biaya. Pendidikan yang benar-benar gratis, tidak hanya sebatas pembebasan SPP, tapi juga penyediaan fasilitas belajar dan biaya tidak langsung lainnya (uang ujian, dsb) memberi kemudahan seluasnya pada rakyat. Tidak ada lagi hambatan memasuki pintu transformasi melalui pendidikan.

Bebas hambatan bukan hanya pada pemerataan pendidikan, tapi juga peningkatan kualitas. Setiap anak berhak bukan hanya untuk masuk sekolah tapi juga masuk sekolah bermutu.
Penulis adalah peneliti The Indonesian Institute


No comments:

Popular Posts