Thursday, September 29, 2005

Antonius Wiwan Koban, Jakarta
The Jakarta Post. January 2, 2006

"Serious security threats from terrorists to all Americans & Westerners in Indonesia. Avoid visiting western country embassies, western pedestrians...." Foreign residents and tourists in Indonesia, especially in Jakarta, are very familiar with that kind of warning message which is circulated officially by the embassies or unofficially from person to person via short message services (SMSs) or e-mails and mailing lists.

That sentence is a kind of current warning message targeted to foreigners living in Indonesia. But how about the Indonesian people themselves? Are they also aware about the same threats in the same areas? What is their perception about security threats in Indonesia? How do Indonesians perceive the probability of becoming the victims of terrorist attacks?

To mention the terrorists' bomb attack incidents, as we notice, the "top five" bomb attacks during the years 2000-2005 in Jakarta and Bali have killed hundreds of people and injured many more.

Terror bomb attacks could occur at any time and could be directed at any location. For most people, they never know when and where the incident might take place. It is a probability. Perception about the probability of something we do not want to happen but might happen is a risk perception.

Risk perception towards the terrorists' bomb attacks, as the other risk perception in general, can be seen as two components.

The first one is the perception about the probability of the severity of the incident. The second one is the perception about the probability of that risk that would really happen. It is about perceived vulnerability. Each of us has our own self-vulnerability risk perception.
A rough description about how Indonesian citizens perceive the probability of terrorist's bomb attacks is reflected in the security check procedures in public buildings such as office buildings, hotels and shopping centers in Jakarta.

Firstly, let us see risk perception in the physical sense. At a glance, most of those public buildings in Jakarta now have been equipped with security check portals. When they were built, and how they were built reflected the dynamics of the building's management risk perception. Earlier it was built as an early warning system to increase the awareness of the terrorist attacks.

Some portals have been changed from temporary to permanent. If budget constraints do not matter, in the case of a temporary security check portal, it can be suspected that terrorist attacks are perceived as temporary threats. Or maybe it was built just as formality on orders or instructions without any risk awareness consideration. Recently in Jakarta, we see that most buildings treat their security portals as temporary constructions.

Secondly, then let us see risk perception as reflected in the mental way. As a routine on a daily basis activity, security check procedures might be done slightly. It is a very usual scene that we see the security crews just slightly check visitor's stuff. The potential cognitive error is the procedures to screen any dangerous stuff, since so far they find nothing, might be taken as "looking for anything and guessing it is impossible to find". That way can lead them to underestimate risk perception.

As bomb attacks increase, levels of risk perception about probability of being attacked by terrorists' bombings should be increased too. But people often have optimistic biases about self-vulnerability. When judged about their own chances, people claim that they are less likely to be affected or to become victims than others.

Indonesians feel helpless and vulnerable because the uncertainty of the bombers' targets. Because of the bomb incidents in Indonesia look like there is no special target, which means the bombers did not care about whom their bombs victimized, so most people think there is no difference whether they think seriously about their probability to be under attack or do not think about it.

Indonesians sometimes also have become so accustomed to helplessness that it leads them to underestimate risk perception. The Indonesian lay people often think that all of the bomb attack threats are out of their personal control. Then they would agree that it is all about faith, "being under attack or to die is fate. If God wishes us to die, then we will die. Only God knows when, where and to whom it would happen".

Unfortunately, this belief sometimes turns out to be a justification that the risk is uncontrollable so any effort to prevent it would be useless. To avoid this, self-efficacy should be increased, for example, by having proper equipment and by having proper early warning in structural levels and also by undertaking appropriate emergency responses exercised on a personal level.

The same belief, fortunately, also can be a good entry point to educate the public on risk awareness. The critical point is if people believe that no one will know the time, place and the target of the bomb attack, they should always be aware of the uncertainty. That is the very meaning of life, it is a risk.

The writer is a Social Researcher at the Indonesian Institute in Jakarta. He can be reached at antonwk@cbn.net.id

Persepsi Risiko dan KLB Flu Burung

Oleh: Antonius Wiwan Koban,
Peneliti sosial The Indonesian Institute, Jakarta


Media Indonesia, Kamis, 22 September 2005
http://www.mediaindo.co.id/cetak/berita.asp?id=2005092209474344

''JIKA esok terjadi pandemik flu burung, kita tidak akan siap. Waktu terus berputar dan ketika pandemik menyerang, semuanya sudah terlambat,'' kata juru bicara WHO Christine McNab, seperti dikutip kantor berita AFP (19/9).

Sementara itu, pakar virus flu burung WHO Margaret Chan mengingatkan bahwa penularan dari manusia ke manusia diprediksi tinggal menunggu waktu. ''Pertanyaannya adalah kapan, dan bukan lagi apakah virus flu burung bisa menular antarmanusia. Kita harus berjaga-jaga setiap waktu, setiap hari.''

Pernyataan di atas menunjukkan kekhawatiran WHO bahwa kebanyakan negara tidak siap jika terjadi pandemik flu burung. Bagaimana dengan kita di Indonesia? Apakah kita telah menyikapi serta menindaklanjuti kekhawatiran wabah flu burung secara tepat? Apakah para pejabat publik kita telah menjalankan fungsi persepsi dan komunikasi risiko secara layak dan efektif?

Babak baru

Seperti diketahui, perkembangan flu burung di Indonesia sejak kini telah memasuki babak baru, yaitu dengan jatuhnya korban meninggal pada manusia. Hingga awal September 2005, dua orang telah dinyatakan meninggal akibat flu burung.

Menyusul kemudian, ditemukan virus flu burung menjangkiti unggas di kebun binatang dan pasar burung di Jakarta. Gubernur DKI Jakarta diberitakan kaget dengan temuan ini dan tidak terima ditetapkannya status KLB flu burung untuk Jakarta oleh Menteri Kesehatan. Serupa dengan itu, sebelumnya Bupati Tangerang dikabarkan naik pitam karena daerahnya dicap sebagai zona merah flu burung oleh Menteri Pertanian.

Namun, wabah terus berlanjut. Sejumlah anak dan orang dewasa di Jakarta dirawat di rumah sakit diduga terserang flu burung. Menteri Kesehatan lalu menyatakan status kejadian luar biasa (KLB) flu burung di seluruh wilayah Indonesia.

Terlepas dari delik otoritas, di sini kita melihat adanya masalah serius pada persepsi risiko para pejabat publik. Padahal, persepsi risiko terhadap wabah penyakit secara signifikan mendasari kerangka upaya penanganannya.

Persepsi risiko

Persepsi risiko adalah penilaian kemungkinan terjadinya bahaya atau kerugian atau hal yang tidak diinginkan. Dalam kasus flu burung, persepsi risiko penularan flu burung adalah penilaian kemungkinan terjadinya penularan flu burung.

Seperti persepsi pada umumnya, persepsi risiko dipengaruhi banyak faktor, antara lain pengetahuan, nilai dan kepentingan (value and interest), keyakinan (belief), serta motivasi yang personal. Oleh karena itu, persepsi risiko diyakini lebih bersifat subjektif, yaitu bergantung pada siapa yang menilainya.

Oleh karena itu, perlu diwaspadai bias-bias persepsi risiko wabah penyakit flu burung, terutama pada pejabat publik yang berwenang, di pusat maupun di daerah. Pertama, kurang memadainya pengetahuan akan flu burung dapat menghasilkan penilaian risiko yang tidak akurat, yaitu menilai risiko terlalu kecil maupun menilai risiko terlalu besar. Kurangnya pengetahuan dapat disebabkan oleh keterbatasan informasi ataupun keahlian.

Kedua, nilai dan kepentingan yang diemban para pemangku kepentingan (stakeholder) dapat menghasilkan penilaian risiko yang berpihak pada kepentingan tertentu. Misalnya, pada perbedaan persepsi antara Menteri Kesehatan dan Gubernur DKI Jakarta mengenai status KLB flu burung di Jakarta.

Menteri Kesehatan tentu memandang kesehatan masyarakat di atas segalanya sehingga dua korban jiwa sudah berarti terlalu banyak; sementara Gubernur DKI di sisi lain mempunyai kepentingan menjaga ketenangan dan keamanan Jakarta (termasuk aman dari ancaman virus penyakit) juga melindungi sektor ekonomi peternakan dan pariwisata, dan tentu tidak ingin cepat-cepat daerah wewenangnya mendapat rapor merah, sehingga dua korban jiwa masih berarti sedikit.

Transparansi

Transparansi pejabat publik dalam mengomunikasikan persepsi risiko wabah flu burung sebagai wabah yang baru muncul, namun menimbulkan kerugian ekonomi dan keselamatan masyarakat, merupakan hal yang sulit dilakukan dan cenderung dilematis. Akan ada banyak hambatan yang problematis, yaitu antara lain kekhawatiran kerugian ekonomi, kekhawatiran terkesan tidak kompeten, kekhawatiran di kemudian hari nanti terbukti salah langkah.

Namun, mengomunikasikan kepada publik mengenai risiko flu burung secara transparan secara dini hasilnya akan lebih bermanfaat. Harga yang harus dibayar nantinya akan jauh lebih tinggi bila komunikasi risiko tidak transparan, atau menutup-nutupi masalah, atau memersepsikan problemnya masih sangat kecil. Kekeliruan karena sikap menunda dan tidak transparan akan mengurangi kredibilitas pejabat publik, yang dampaknya akan membuat upaya-upaya promosi kesehatan, pencegahan wabah penyakit, yang membutuhkan partisipasi masyarakat, hasilnya tidak akan optimal.

Hal yang juga perlu diperhatikan dalam komunikasi risiko adalah mengakui ketidakpastian. Pejabat publik kita sering kali lupa bahwa risiko adalah suatu ketidakpastian. Risiko sendiri berarti kemungkinan terjadinya bahaya, kerugian, atau sesuatu yang tidak diharapkan. Namun, sering terjadi bahwa kepala daerah atau pejabat instansi terkait mengatakan wilayahnya pasti tidak terjangkit wabah flu burung atau penularan dari manusia ke manusia tidak akan mungkin terjadi. Padahal, perkembangan virus flu burung termasuk hal yang baru dan masih banyak hal yang para ahli belum ketahui. Jadi, banyak kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi.

Membaca KLB

Langkah Menteri Kesehatan menetapkan status KLB nasional sebagai strategi meningkatkan kewaspadaan dan kelancaran penanganan flu burung patut dihargai. Keberatan dan keluhan Gubernur DKI Jakarta juga patut dihargai karena membuka kesadaran akan pentingnya sosialisasi dan komunikasi risiko secara layak.

Dalam hal ini perbedaan interpretasi yang terjadi adalah para kepala daerah lebih menganggap status KLB sebagai statistik atau sebagai laporan pascakejadian, bahkan sebagai 'rapor'. Kerugiannya adalah, status KLB tereduksi sebagai angka, dan mengundang menutupi masalah secara manipulatif.

Apalagi bila mengingat bahwa angka laporan kesehatan dalam banyak hal adalah fenomena gunung es, KLB sebagai statistik sering kali menjadi kurang berguna. Interpretasi Menteri Kesehatan, yang lebih menganggap status KLB sebagai instrumen untuk mengatur langkah ke depan, akan lebih bermanfaat.

Langkah-langkah strategis dan koordinasi akan lebih baik bila dilengkapi komunikasi risiko yang layak dan kredibel, yaitu dengan pendekatan prediksi yang bertanggung jawab (tidak melulu defensif secara dini mengatakan bahwa bahayanya masih kecil dan tertangani, atau bahkan menolak bahwa ada masalah).

Komunikasi risiko juga patut menyampaikan secara fair dilema-dilema yang dihadapi dalam menentukan langkah-langkah yang harus diambil, serta mencari tahu lalu menginformasikan hal praktis yang dapat dilakukan masyarakat. Di sinilah kapasitas dan profesionalitas pejabat publik, para ahli, praktisi, dan petugas terkait tidak boleh main-main, apalagi dibelit kepentingan-kepentingan sesaat.

Cegah gunung es

Seiring era otonomi daerah, bias persepsi risiko dan interpretasi kejadian luar biasa (KLB) harus lebih diwaspadai. Gejala bahwa kepala daerah ingin melaporkan situasi yang terbaik mengenai daerahnya adalah hal yang mungkin terjadi. Bila tidak diwaspadai, dapat terjadi laporan yang tidak sesuai dengan kenyataan. Kita belum lupa bahwa KLB gizi buruk di berbagai daerah di Tanah Air telah membuktikan adanya gejala tersebut.

Yang akan menjadi masalah besar adalah bila terjadi kesenjangan besar antara risiko yang dipersepsi (perceived risk) dan bahaya yang sesungguhnya (actual hazard). Kekeliruan dapat diawali dengan sikap pejabat publik dengan begitu cepatnya menyimpulkan wilayahnya aman-aman saja karena upaya-upaya pencegahan telah dilakukan, atau karena tidak ada laporan kejadian. Padahal kebocoran mungkin terjadi dan tidak ada laporan belum tentu berarti tidak ada kejadian.

Peluang dan tantangan kita dalam menghadapi wabah flu burung ini adalah perihal masih relatif barunya perkembangan wabah penyakit ini. Selagi jumlah penderita pada manusia belum semakin banyak, peluang kita adalah mencegah terjadinya fenomena gunung es, yang biasa terjadi pada wabah penyakit di negara kita yaitu jumlah penderita yang terlihat dari data yang ada, tidak menunjukkan jumlah yang sebenarnya, karena banyak kejadian yang tidak terpantau. Di sini peran akses layanan kesehatan bagi masyarakat, yang menjadi pintunya, yaitu membuka kemudahan bagi penderita, terlebih lagi bagi mereka yang miskin, untuk segera mendapat perawatan dan pengobatan.***

No comments:

Popular Posts